Kamis, 23 April 2015

Transportasi Masyarakat Suku Manggarai

Menjelajahi Belantara Manggarai Dengan Oto Kol

Daerah Flores Manggarai adalah daerah yang mempunyai medan jalan yang berat karena itu warga Suku Manggarai mempunyai transportasi kendaaran andalan yaitu Oto Kol. Suara musik terdengar semakin keras, ketika truk itu mendekat. Suara itu berasal dari dua buah speaker yang dipasang di bagian depan bak truk. Tidak seperti truk lain, truk itu memiliki bak yang sudah dimodifikasi dengan menambahkan atap dan beberapa baris bangku kayu dengan sandaran sebagai tempat duduk. Di Flores, truk semacam itu dinamakan bus kayu atau Oto Kol ( kata berasal dari jenis truk “Colt Diesel”). Oto Kol memang ditujukan sebagai angkutan umum untuk mengangkut masyarakat pedesaan. Jenis kendaraan ini sangat cocok digunakan untuk menjelajahi medan Flores yang merupakan daerah pegunungan dengan infrastuktur yang masih minim.

13806187441365658640
Oto Kol, angkutan segala medan
Manggarai Timur, salah satu kabupaten di pulau Flores yang terbilang masih muda. Di kabupaten yang baru terbentuk pada 2007 itu, kondisi infrastrukturnya dapat dikatakan masih belum memadai. Jalan “raya” menuju suatu kota kecamatan saja berupa jalan aspal rusak (parah) dengan lebar tak lebih dari 4 meter. Untuk jalan menuju pedesaan, berupa jalan makadam atau hanya jalan tanah dengan bebatuan yang disusun seadanya. Untuk medan yang kata orang sana “setengah mati” ini hanya dapat dilalui kendaraan gardan ganda. Truk atau Oto Kol merupakan pilihan terbaik untuk transportasi massal di daerah ini.

13806188511389577962
jalan terjal dan sempit yang harus dilalui Oto Kol

Mulai dari pagi buta hingga malam, Oto Kol mengangkut pelanggan setianya. Jam 3 pagi, Oto Kol sudah keluar kandang untuk menjemput penumpang. Hal itu dilakukan untuk melayani penumpang yang hendak ke pasar di kota terdekat. Tak jarang, sopir maupun kernetnya harus “menjemput paksa” penumpang dari rumahnya. Mereka harus menggedor pintu rumah calon penumpang yang sedang terlelap nyenyak. Dasar penumpang tak tahu diri! Padahal mereka sudah request untuk dijemput dan sudah diberitahu sebelumnya kalau Oto Kol akan datang sekitar jam 3 pagi. Untungnya bang sopir dan bang kernet pengertian, dengan sabar mereka menjemput dan menunggu penumpangnya (kisah nyata! Pengalaman pribadi).
Ketiadaan angkutan lain, membuat Oto Kol menjadi angkutan favorit di daerah ini. Dengan tarif yang relatif murah, Oto Kol siap mengantar penumpang meski harus melewati jalan raya (jalan aspal rusak parah, banyak lubang, sempit, berkelok, dengan jurang menganga di satu sisi dan tebing rawan longsor di sisi lainnya) maupun jalan tanah berbatu khas pegunungan Manggarai. Tarif sebesar itu terbilang efisien mengingat medan yang harus ditempuh. Oto Kol juga dapat menampung barang bawaan penumpang yang seabreg. Berdus-dus dan berkarung-karung (entah apa isinya, saya tidak cukup kepo untuk menanyakan benda yang ada di dalam karung itu) barang bawaan penumpang biasanya diletakkan di bagian depan.

1380619084270963422
Sementara penumpang lain duduk berjejal di bangku kayu, seorang pemuda duduk manis beralaskan kasur di atap Oto Kol.

Kebanyakan dari penumpangnya adalah warga desa yang secara rutin berangkat ke kota untuk berbagai macam keperluan. Maka tak heran jika para penumpang terlihat akrab karena mereka tak lain adalah tetangga sendiri dan bertemu lagi dalam satu bangku (lu lagi, lu lagi). Namun sepertinya Oto Kol bukanlah tempat yang nyaman untuk ngobrol dengan sesama penumpang selama di perjalanan. Musik yang disetel sangat keras lah alasannya. Mulai dari lagu ambon, dangdut koplo hingga hip-hop terdengar bergantian. Beberapa angkutan umum di Flores seperti angkot, travel dan bahkan becak memang “full musik”. Nampaknya, musik sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Flores.

13806194002081921442
suasana di dalam Oto Kol

Tanpa penutup di bagian samping, hawa dingin disertai angin pegunungan dengan leluasa menyusup ke kulit menembus dua lapis pakaian yang saya pakai. Meski agak menggigil, musik yang disetel keras-keras dapat sedikit “menghangatkan” suasana.
Bukit-bukit terlihat memantulkan cahaya keemasan matahari pagi. Dingin pun sirna, berganti kehangatan yang mengiringi terbitnya sang surya. Keelokan bumi Manggarai mulai tersibak. Kabut tipis menggantung di atas lembah membiaskan cahaya mentari yang makin meninggi. Jajaran bukit hijau, serasi dengan birunya langit, dihiasi gradasi warna sinar matahari yang terbias di awan. Dedaunan terlihat segar bermandikan embun pagi. Kicauan burung menyemarakkan pagi yang sunyi. Hanya dengan menumpang Oto Kol kita bisa secara leluasa menikmati keindahan alam dan merasakan sejuknya udara pegunungan Manggarai. 


1380619789696583241
kabut tipis menggantung di atas lembah
13806198571474586452
hijaunya pegunungan Manggarai

Bisa dikatakan Oto Kol merupakan angkutan perintis yang dapat menembus desa terpencil dengan akses jalan yang masih terbatas. Oto Kol juga menjadi pilihan utama warga untuk mengangkut hasil panen yang biasanya berupa biji kopi untuk dijual di kota. Namun, tak setiap hari Oto Kol bisa menjangkau desa terpencil. Jika hujan, sopir tidak berani membawa oto ke desa terpencil. Jalan terjal berbatu akan sangat licin jika diguyur hujan. Ditambah lagi tanah becek yang menutupi sebagian jalan. Biasanya, sopir akan menunggu sampai jalan dipastikan kering dan aman untuk dilalui. Diperlukan kemampuan khusus dan kehati-hatian yang tinggi dalam mengendarai Oto Kol di medan seperti itu.


13806202051684647953
bangkai truk teronggok di dasar jurang, tersamarkan rimbunnya semak-semak

Warga desa di pegunungan Manggarai sangat terbantu dengan angkutan umum macam ini. Mereka bisa jadi akan terisolasi jika tidak ada Oto Kol yang masuk ke desanya. Adanya Oto Kol mempermudah mobilitas warga yang berasal dari desa terpencil menuju ke kota maupun sebaliknya.

Rumah Adat Suku Manggarai

Tidak banyak daerah di Indonesia yang kini masih menjaga rumah tradisional mereka. Wae Rebo merupakan sebuah desa dimana masih tersisa arsitektur asli Manggarai yang masih terjaga dengan baik. Mbaru Niang, rumah adat Manggarai adalah sebuah bangunan kayu bertingkat lima, dibungkus dengan atap terbuat dari dedaunan yang menyerupai kerucut raksasa di atas bukit yang hijau.
Empo Maro, warga pertama dan pendiri desa mewarisi 7 rumah Mbaru Niang dan hingga saat ini jumlahnya tidak berubah. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di desa ini, beberapa penduduk harus pindah ke desa Kombo, desa baru dengan keturunan nenek moyang yang sama, namun desa yang baru ini kurang memiliki kekhasan dan keaslian dibanding dengan Wae Rebo.

wae rebo house 2

Pada tahun 2012 yang lalu, desa Wae Rebo menerima penghargaan tertinggi (Award of Excellence) UNESCO Asia Pacific Award 2012. Penghargaan ini diumumkan di Bangkok, 27 Agustus yang diperuntukkan bagi proyek konservasi dalam 10 tahun terakhir untuk bangunan tua berusia lebih dari 50 tahun.
Konservasi rumah adat Mbaru Niang, disebutkan UNESCO telah berhasil mengayomi isu konservasi dalam cakupan luas pada tataran lokal. Proyek konservasi rumah adat berbentuk kerucut ini tidak semata mempertahankan keberadaan rumah adat sebagai benda mati, namun sekaligus menjaga keutuhan tradisi setempat.

Membaca mengenai Wae Rebo mungkin akan memancing kita membandingkan dusun terpencil ini dengan kehidupan di Baduy Dalam, Jawa Barat. Kehidupan di dusun terpencil dengan adat istiadat yang masih terjaga, dengan kekeluargaan yang masih kental dan kuat.
Tata letak rumah-rumah di dusun Wae Rebo menggambarkan mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan pihak manapun. Inilah yang berbeda dengan kebanyakan sistem desa tradisional di Indonesia yang memiliki pola pertahanan desa. Masyarakat Wae Rebo juga tidak mengenal peralatan persenjataan kecuali alat bercocok tanam. Mereka memilih ‘terpencil’ untuk lebih dekat dengan alam. Berkunjung ke desa ini serasa seperti berada di dalam mimpi.


Rumah adat mbaru niang ini sangat langka karena hanya tinggal beberapa dan hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo  yang terpencil di atas pegunungan.
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau ilalang dengan kerangka atap dari bambu. Tiang-tiang utama menggunakan kayu worok yang besar dan kuat.
Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga. Meski tidak terlalu besar, pembagian ruangan di dalam mbaru niang menunjukkan fungsi rumah sebagai tempat tinggal, untuk menyimpan hasil panen, juga untuk memuja nenek moyang.
Pada tingkat pertama yang disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo  yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen. Tingkat kelima atau paling atas yang disebut hekang kode  digunakan untuk menempatkan sesaji buat leluhur.
wae rebo
Rumah mbara niang dibangun dengan memanfaatkan alam. Tiang dari kayu, kerangka atap dari bambu, atap dari ijuk.
Mbaru niang  di Wae Rebo merupakan rumah adat warisan nenek moyang ratusan tahun yang lalu. Konon, leluhur mereka mewariskan 7 buah mbaru niang di Wae Rebo. Namun, karena perbaikan mbaru niang perlu biaya besar, mbaru niang di  Wae Rebo lambat laun mulai rusak dimakan usia.
Menurut catatan seorang ahli antropologi, Catherine Allerton yang mengadakan penelitian di Wae Rebo; pada tahun 1970-an rumah adat di Wae Rebo ini sudah terlihat mulai rusak.
Namun, keunikan rumah kerucut di atas pegunungan yang sering tertutup kabut ini sangat menarik bagi turis asing. Foto-foto kampung Wae Rebo dan rumah adat mbaru niang menyebar ke seluruh dunia lewat kartu pos.
Gambar rumah mbaru niang  yang sederhana namun unik ini memesona Pak Yoris Antar, seorang aristek dari Jakarta. Tahun 2008, dengan berbekal gambar kartupos, Pak Yoris dan kawan-kawan mencari letak kampung Wae Rebo.
Melihat keaslian rumah mbaru niang sebagai kekayaan budaya Indonesia yang sudah nyaris punah karena rusak, Pak Yoris  lalu menggerakkan penduduk Wae Rebo dan memelopori untuk mengumpulkan dana bagi pelestarian rumah adat ini.
Rumah-rumah kerucut mbaru niang yang rusak diperbaiki. Mbaru niang  yang hilang didirikan lagi. Di atas pegunungan yang berkabut, kini sudah berdiri 7 rumah kerucut mbaru niang yang kokoh.
mbaru niang
Pembagian ruang bertingkat dlam rumah mbaru niang.
Lewat pemugaran dan pembangunan kembali rumah adat mbaru niang, penduduk setempat terutama para pemuda bisa belajar cara membangun dan melestarikan rumah adat ini. Cara ini diharapkan bisa menjadi contoh atau menginspirasi upaya pelestariakan kekayaan budaya antar generasi di tempat lain. 
Upaya melestarikan rumah adat mbaru niang di Wae Rebo dengan melibatkan masyarakat setempat itu, baru-baru ini mendapat penghargaan tertinggi dari UNESCO.
Penghargaan tertinggi Asia-Pacific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation 2012  ini diberikan kepada masyarakat adat Wae Rebo atas upayanya melestarikan 7 rumah tradisional mbaru niang.
Wae Rebo adalah kampung terpencil di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Untuk ke kampung ini, kita mesti kuat jalan kaki. Perjalanan dengan mobil dari kota Ruteng hanya bisa sampai di desa Denge. Jaraknya sekitar 80 kilometer dan bisa ditempuh sekitar 4 jam karena jalanannya berkelok-kelok. Dari desa Denge, kita mesti jalan kaki melewati hutan kecil, menyeberangi sungai Wae Lomba, dan dilanjutkan jalan setapak dan menanjak hingga sampai di Wae Rebo.
Mbaru niang . Mutiara di kampung Wae Rebo yang sederhana, namun mendunia.













Makanan Khas Manggarai

“Kompiang”Kue China Rasa Manggarai

Kompiang, jenis kue yang jadi ole-ole khas dari Manggarai
Kompiang, jenis kue yang jadi ole-ole khas dari Manggarai
Kompiang, nama kue berbentuk oval ini sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Manggarai. Warna coklat yang dimilikinya terbentuk oleh pembakaran di atas bara atau oven. Di salah satu sisinya ada butiran-butiran kecil yang disebut longa. Maka namanya pun menjadi kompiang longa.
Ketika orang-orang bepergian ke luar dari Manggarai, kompiang seakan sudah menjadi  ole-ole wajib. Bagi warga Manggarai di perantauan, rasanya belum afdol kalau tak bawa kompiang ketika kembali dari liburan.
Tapi taukah Anda asal-usul kompiang? Harianto, pemilik toko Tarsan yang juga satu-satunya produsen kompiang di Ruteng menuturkan, kompiang mulai muncul di kota Ruteng pada tahun 1983-1984. Saat itu, ibunya terinspirasi membuat kue khas China di Manggarai.
Setiap kali saya pulang kampung, kompiang sudah menjadi makanan sehari-hari selalu ada saat sarapan sore malam dan menjadi kudapan favorite. Oma saya selalu menyediakan kompiang dirumah.
Model dan bentuk kompiang pun beragam ada yang kecil sedang dan besar. Ada juga kompiang isi daging dan polos, biasanya yang isi daging itu yang besar.
Tidak afdol rasanya jika berkunjung ke Manggarai flores tidak mencicipi kue khas nya ini rasanya yang nikmat dan khas lah yang membuat kue ini menjadi populer dan menjadi makanan khas. Selalu disaat kembali pulang ke Jakarta kompiang selalu menjadi ole-ole yang banyak dibungkus untuk dibawa.


Orang Manggarai yang hendak bepergian, biasanya selalu membawa kompiang, di samping ole-ole lain, yang juga khas Manggarai, seperti ikan cara
Orang Manggarai yang hendak bepergian, biasanya selalu membawa kompiang, di samping ole-ole lain, yang juga khas Manggarai, seperti ikan cara.
Layaknya bisnis yang lain, usaha kompiang ini kata dia juga menghadapi banyak tantangan. Diantaranya, makin banyak orang yang melakukan imitasi atau membuat produk serupa.
Setiap orang dari luar dan orang Manggarai yang mau keluar akan beli sendiri di sini sebagai ole-ole.

Budaya dan ciri Masyarakat Suku Flores Manggarai

Budaya Manggarai

RAGAM BUDAYA MANGGARAI

Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.

1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.

Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:

Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)













Gambar diatas adalah salah satu contoh acara adat yang dilakukan dikampung orang tua saya di Wetok pada saat acara memberi makan leluhur dan pengucapan syukur kepada Tuhan dan juga leluhur sebagai perantaranya. Foto ini asli hasil potretan saya ini diambil tahun 2012 pada saat saya sekeluarga pulang kekampung.

 Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :

* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.

* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran

2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.

B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :

Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang


 Gambar disamping adalah contoh Tetua yang mempunyai kuasa dikampung dan memegang rumah gendang. Ini adalah foto kakek saya (Ema) kami memanggilnya dalam bahasa manggarai yang berarti bapak adalah ketua adat atau ketua kampung di kampung bapak saya Wetok.


 Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu


2. Tu’a Golo
Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)
Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.
4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.
5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.
6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.
7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.
8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.
9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.
C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang
Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.

Gambar dibawah ini adalah  foto saat kedua orang tua saya menikah secara adat Manggarai, ini adalah foto Mama Papa saya mengenakan pakaian adat pernikahan Manggarai pada saat dulu menikah.

* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.

* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.

3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.

4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.

5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.

Gambar dibawah ini adalah salah satu kesenian Manggarai yaitu tarian caci, dimana kedua penari memakai kain songke (kain khas manggarai) dan membawa cambuk.



Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
- Seni Tari
* Ronda



Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.

* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera

6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.

7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.

Suku Flores Manggarai

suku Manggarai
Suku Manggarai, adalah suatu suku yang berada di pulau Flores di kabupaten Manggarai provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi orang Manggarai diperkirakan sekitar 500.000 orang.
Suku Manggarai adalah suku asli di Flores yang hidup di kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur, dan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, seperti suku Ngada, Ende, Lio, Flores Timur. Suku-suku tersebut sebagai suku-suku terbesar di Flores. Selain suku-suku tersebut, masih terdapat banyak suku-suku kecil lainnya yang tersebar di Flores.
Suku Manggarai sendiri terdiri dari bermacam-macam suku kecil (sub-suku) dan klan-klan yang memiliki bahasa dan dialek masing-masing, serta adat-istiadat yang unik. Selain itu masing-masing suku-suku kecil juga memiliki rumah tradisional, upacara adat dan pakaian adat sendiri.
Masyarakat suku Manggarai mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Katolik. Namun beberapa acara tradisional yang mengandung unsur animisme masih tetap dilakukan, tapi beberapa sudah disesuaikan dengan ajaran agama Kristen Katolik.
 
 Suku Manggarai memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu. Seluruh rangkaian prosesi dilakukan demi menjaga ketenangan batin dan keharmonisan antarwarga Manggarai.
Salah satunya adalah ritual adat Penti, yaitu suatu Upacara Adat merayakan syukuran atas hasil panen yang dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai.

Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.