Kamis, 23 April 2015

Rumah Adat Suku Manggarai

Tidak banyak daerah di Indonesia yang kini masih menjaga rumah tradisional mereka. Wae Rebo merupakan sebuah desa dimana masih tersisa arsitektur asli Manggarai yang masih terjaga dengan baik. Mbaru Niang, rumah adat Manggarai adalah sebuah bangunan kayu bertingkat lima, dibungkus dengan atap terbuat dari dedaunan yang menyerupai kerucut raksasa di atas bukit yang hijau.
Empo Maro, warga pertama dan pendiri desa mewarisi 7 rumah Mbaru Niang dan hingga saat ini jumlahnya tidak berubah. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di desa ini, beberapa penduduk harus pindah ke desa Kombo, desa baru dengan keturunan nenek moyang yang sama, namun desa yang baru ini kurang memiliki kekhasan dan keaslian dibanding dengan Wae Rebo.

wae rebo house 2

Pada tahun 2012 yang lalu, desa Wae Rebo menerima penghargaan tertinggi (Award of Excellence) UNESCO Asia Pacific Award 2012. Penghargaan ini diumumkan di Bangkok, 27 Agustus yang diperuntukkan bagi proyek konservasi dalam 10 tahun terakhir untuk bangunan tua berusia lebih dari 50 tahun.
Konservasi rumah adat Mbaru Niang, disebutkan UNESCO telah berhasil mengayomi isu konservasi dalam cakupan luas pada tataran lokal. Proyek konservasi rumah adat berbentuk kerucut ini tidak semata mempertahankan keberadaan rumah adat sebagai benda mati, namun sekaligus menjaga keutuhan tradisi setempat.

Membaca mengenai Wae Rebo mungkin akan memancing kita membandingkan dusun terpencil ini dengan kehidupan di Baduy Dalam, Jawa Barat. Kehidupan di dusun terpencil dengan adat istiadat yang masih terjaga, dengan kekeluargaan yang masih kental dan kuat.
Tata letak rumah-rumah di dusun Wae Rebo menggambarkan mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan pihak manapun. Inilah yang berbeda dengan kebanyakan sistem desa tradisional di Indonesia yang memiliki pola pertahanan desa. Masyarakat Wae Rebo juga tidak mengenal peralatan persenjataan kecuali alat bercocok tanam. Mereka memilih ‘terpencil’ untuk lebih dekat dengan alam. Berkunjung ke desa ini serasa seperti berada di dalam mimpi.


Rumah adat mbaru niang ini sangat langka karena hanya tinggal beberapa dan hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo  yang terpencil di atas pegunungan.
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau ilalang dengan kerangka atap dari bambu. Tiang-tiang utama menggunakan kayu worok yang besar dan kuat.
Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga. Meski tidak terlalu besar, pembagian ruangan di dalam mbaru niang menunjukkan fungsi rumah sebagai tempat tinggal, untuk menyimpan hasil panen, juga untuk memuja nenek moyang.
Pada tingkat pertama yang disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo  yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen. Tingkat kelima atau paling atas yang disebut hekang kode  digunakan untuk menempatkan sesaji buat leluhur.
wae rebo
Rumah mbara niang dibangun dengan memanfaatkan alam. Tiang dari kayu, kerangka atap dari bambu, atap dari ijuk.
Mbaru niang  di Wae Rebo merupakan rumah adat warisan nenek moyang ratusan tahun yang lalu. Konon, leluhur mereka mewariskan 7 buah mbaru niang di Wae Rebo. Namun, karena perbaikan mbaru niang perlu biaya besar, mbaru niang di  Wae Rebo lambat laun mulai rusak dimakan usia.
Menurut catatan seorang ahli antropologi, Catherine Allerton yang mengadakan penelitian di Wae Rebo; pada tahun 1970-an rumah adat di Wae Rebo ini sudah terlihat mulai rusak.
Namun, keunikan rumah kerucut di atas pegunungan yang sering tertutup kabut ini sangat menarik bagi turis asing. Foto-foto kampung Wae Rebo dan rumah adat mbaru niang menyebar ke seluruh dunia lewat kartu pos.
Gambar rumah mbaru niang  yang sederhana namun unik ini memesona Pak Yoris Antar, seorang aristek dari Jakarta. Tahun 2008, dengan berbekal gambar kartupos, Pak Yoris dan kawan-kawan mencari letak kampung Wae Rebo.
Melihat keaslian rumah mbaru niang sebagai kekayaan budaya Indonesia yang sudah nyaris punah karena rusak, Pak Yoris  lalu menggerakkan penduduk Wae Rebo dan memelopori untuk mengumpulkan dana bagi pelestarian rumah adat ini.
Rumah-rumah kerucut mbaru niang yang rusak diperbaiki. Mbaru niang  yang hilang didirikan lagi. Di atas pegunungan yang berkabut, kini sudah berdiri 7 rumah kerucut mbaru niang yang kokoh.
mbaru niang
Pembagian ruang bertingkat dlam rumah mbaru niang.
Lewat pemugaran dan pembangunan kembali rumah adat mbaru niang, penduduk setempat terutama para pemuda bisa belajar cara membangun dan melestarikan rumah adat ini. Cara ini diharapkan bisa menjadi contoh atau menginspirasi upaya pelestariakan kekayaan budaya antar generasi di tempat lain. 
Upaya melestarikan rumah adat mbaru niang di Wae Rebo dengan melibatkan masyarakat setempat itu, baru-baru ini mendapat penghargaan tertinggi dari UNESCO.
Penghargaan tertinggi Asia-Pacific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation 2012  ini diberikan kepada masyarakat adat Wae Rebo atas upayanya melestarikan 7 rumah tradisional mbaru niang.
Wae Rebo adalah kampung terpencil di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Untuk ke kampung ini, kita mesti kuat jalan kaki. Perjalanan dengan mobil dari kota Ruteng hanya bisa sampai di desa Denge. Jaraknya sekitar 80 kilometer dan bisa ditempuh sekitar 4 jam karena jalanannya berkelok-kelok. Dari desa Denge, kita mesti jalan kaki melewati hutan kecil, menyeberangi sungai Wae Lomba, dan dilanjutkan jalan setapak dan menanjak hingga sampai di Wae Rebo.
Mbaru niang . Mutiara di kampung Wae Rebo yang sederhana, namun mendunia.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar