Budaya Manggarai
RAGAM BUDAYA MANGGARAI
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak
maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau
sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat
Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak
kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat
Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi,
sistem teknologi.
1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis
implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan
Maha Kuasa (
mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih
terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah)
juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan
suci.
Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang
Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang
menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk
bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam
upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Gambar diatas adalah salah satu contoh acara adat yang dilakukan dikampung orang tua saya di Wetok pada saat acara memberi makan leluhur dan pengucapan syukur kepada Tuhan dan juga leluhur sebagai perantaranya. Foto ini asli hasil potretan saya ini diambil tahun 2012 pada saat saya sekeluarga pulang kekampung.
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago,
dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan
kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius
tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk
menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
-
Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi
atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga
dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan
atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
-
Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai
sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga
kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum
adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea
Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat
hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah
seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri
tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang
di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau
diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah
atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan
lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah
menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan.
Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku
Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang
berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama
yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah
pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat
perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah
seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka
Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai
tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase
Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari
suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk
menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena
perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan
melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang
Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan
lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian)
adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak
mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta
lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat
erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan
taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah
per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai
Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah
pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan
pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman
itu adalah sebagai berikut :
Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa
Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte
sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi
dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung
atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara
gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini
melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau
mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak
berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal
hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang
disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang
Gambar disamping adalah contoh Tetua yang mempunyai kuasa dikampung dan memegang rumah gendang. Ini adalah foto kakek saya (Ema) kami memanggilnya dalam bahasa manggarai yang berarti bapak adalah ketua adat atau ketua kampung di kampung bapak saya Wetok.
Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang
dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara
keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara
musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu
2. Tu’a Golo
Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)
Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang
bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan
adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi
sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena
turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada
aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan
harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan
kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang
bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam
musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan
Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang
merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa
kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas
menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan
pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang
yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.
4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang
merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan
untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo
dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari
beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku
tertentu.
5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan
dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau
keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.
6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a
Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.
7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah
berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya
mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan.
Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada
tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.
8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua
dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan
tertua.
9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda
dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.
C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang
Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah
kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan
setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak
dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan
lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik
gendang.
Gambar dibawah ini adalah foto saat kedua orang tua saya menikah secara adat Manggarai, ini adalah foto Mama Papa saya mengenakan pakaian adat pernikahan Manggarai pada saat dulu menikah.
* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya
dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar
suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan
baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar
jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu,
orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan
keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri
bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan
martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona
dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang.
Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai
leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti
perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang
paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis
tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan
adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai
perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai
mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar
silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat
Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang
Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu
direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui,
bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum
memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan
sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan
kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal
dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina
berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak
pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.
3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam
sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem
dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka
memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau
tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena
orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya
sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu
bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara,
bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa
Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa
Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa
Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum
kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan
genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai
adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam
kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas
daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya.
Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai
tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan
caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat
makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika,
muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta
penanaman percaya diri.
Gambar dibawah ini adalah salah satu kesenian Manggarai yaitu tarian caci, dimana kedua penari memakai kain songke (kain khas manggarai) dan membawa cambuk.
Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada
songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai
serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang
Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung
banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna
interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif
ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu
segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait
dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong
langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian
pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa
orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup
di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
- Seni Tari
* Ronda
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya
dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka
congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk
lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan
pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera
6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal
dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang
dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap
kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang
disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau
sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan
mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa
religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan
arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu
pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar
kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang
mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat
agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat
adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai
komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di
Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati
masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan
orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem
irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah
menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai
juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing,
ayam, serta melaut.
7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu
menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan
yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima
ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini
memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis
dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari
dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek
lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan
pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan
mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal
cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air
enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi
seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan
obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu
pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk
pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai
sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah
tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu
runcing, lidi enau, tali ijuk.